Wednesday, May 11, 2016

[LIR BOOK REVIEW] Sepeda Merah #1: Yahwari


*****

Sepeda Merah #1: Yahwari – Kim Dong Hwa
PT Gramedia Pustaka Utama, 2012


“Yang baru untuk si sulung, dan yang paling bagus dikhususkan untuk si bungsu. Pada akhirnya, selalu Sang Ayah yang memakai kaus kaki yang berlubang.”
(Halaman 57, Kisah 11: Kaus Kaki)



Kalimat di atas adalah sepenggal dari beberapa kalimat dalam buku ini yang masih saya ingat sampai sekarang. Sampul yang manis dengan jumlah halaman yang tipis cukup menarik  saya -- yang waktu itu sedang terburu-buru -- untuk tetap membacanya Namun, meskipun tipis, suasana puitis, romantis, dan juga melankolis, tetap berhasil disampaikan oleh Kim Dong Hwa.

Bagi saya. kebiasaan -- atau keterbiasaan-- membentuk ingatan, ingatan membentuk pandangan, dan pandangan membentuk perbuatan.  Hal barusan terlihat jelas sebagai kisah yang ingin disampaikan dalam novel grafis ini: mengenai kehidupan dari kacamata seorang tukang pos yang menggunakan sepeda merahnya untuk mengantarkan surat di Desa Yahwari.

Setiap hari, tukang pos ini melewati jalan yang sama hingga ia hapal dengan rumah dan detilnya, penghuninya, bahkan kebiasaan penghuninya, meski ia tidak tau nama-nama mereka (dan sejujurnya saya juga tidak tau nama tukang pos itu). Keterbiasaan ini juga menjadikan ia memiliki pandangan yang sangat terbuka terhadap penduduk desa itu. Ia tidak segan untuk berbuat baik dan memberikan bantuan, mulai dari mengantarkan orang asing hingga mendengarkan cerita seorang kakek yang sudah tinggal sendirian, meskipun ia sedang bekerja.

Kisah dalam buku ini dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu Kisah para Ibu, Kisah Para Ayah, dan Kisah Penduduk Desa Lain, yang semuanya digrafiskan oleh Kim Dong Hwa sendiri dengan keindahan yang bersahaja.

Pada akhirnya, membaca buku ini juga mengingatkan saya pada perasaan zaman kecil dulu -- saya adalah angkatan muda generasi 90an sehingga masih sempat merasakan komunikasi lewat surat meski bukan sebagai komunikasi primer – yang kerapkali deg-deg-an saat menunggu surat dari tukang pos, tapi kali ini saya mengalami perasaan dari kacamata tukang pos itu sendiri. Lucu juga, ya, jadi tukang pos?

Salam,

yuralasari

No comments: