Saturday, December 20, 2014

Walk The Folk: Piknik, Musik, Kisah dan Jalan Kaki

the-walk-1in
(dimuat di majalah cobra) | text: Titah Asmaning | photo: Dito Yuwono

*****


Walk the Folk: a participatory secret gig, begitu acara ini disebut. Project ini merupakan pengembangan dari Folk Afternoon yang digagas oleh Sandi Kalifadani dan Mira Asriningtyas (LIR) pada tahun 2012. Hingga sekarang, Folk Afternoon telah diadakan 8 kali di beberapa lokasi berbeda. Folk Afternoon sendiri merupakan sebuah acara musik sederhana yang meniadakan batas antara panggung dan penonton dengan justru membuka ruang bermusik seluas-luasnya: tidak ada bintang tamu, tidak ada sound, tidak perlu kemampuan bermusik yang hebat, dan tidak ada panggung secara resmi.

Dalam Walk the Folk; peserta undangan berkumpul di sebuah lokasi yang telah ditentukan sebelum kemudian berjalan kaki santai sambil sesekali berhenti di tempat-tempat tertentu untuk bernyanyi dan bercerita. Bahwa masing-masing dari peserta harus berpartisipasi, itu wajib hukumnya. Dan bahwa di acara ini kita bisa mendapat pengetahuan tentang tempat bersejarah, rahasia lokal, kelas dadakan, musisi‘betulan’ yang tiba-tiba datang, sampai renungan spiritual: itu bonus!

Yang menarik, meskipun acara ini telah lama direncanakan, Walk the Folk #1 akhirnya terlaksana justru atas permintaan para penampilnya yang kebetulan sedang berkumpul di Jogja dan ingin bermain musik santai bersama. Acara ini diadakan pada sebuah siang yang cerah namun sejuk di Kaliurang. Kalender menunjukkan hari Rabu tanggal 26 November 2014. Sebuah rumah mungil bernama “Hong” menjadi titik kumpul dan akhir dari perjalanan singkat yang menyenangkan itu.

Sekitar pukul 11, tanda centang di daftar tamu undangan semakin banyak dibubuhkan. Di Walk The Folk #1 ini, undangan disebar secara rahasia kepada 20 orang. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah mobilisasi dan kelancaran acara. Walaupun tidak ada nominal yang disebutkan, acara ini tidak serta merta ‘gratis’ karena masing-masing peserta harus menjanjikan bentuk partisipasinya. Konsep ini sedikit mengingatkan dengan konsep kado silang. Ada yang urun penampilan, urun jasa dokumentasi, sampai tim artistik dari Lir yang dengan bersemangat menyiapkan venue sampai pagi.

Agenda jalan-jalan kami siang itu dimulai setelah seluruh tamu undangan hadir. Dari titik berkumpul, kami berjalan menuju sebuah lapangan tenis. Jaring-jaring pagar yang berkarat dan belukar di gerbang masuk sekaligus menjadi pintu atas keintiman yang luar biasa merasuk hari itu. Sandi Kalifadani mengawali penampilan dengan ‘Song for Rita’, sebuah lagu untuk seorang teman yang disuarakan dalam petikan gitar dan humming sederhana. Ananda Badudu dan Rara Sekar dari Banda Neira lalu melanjutkan penampilan di tengah lapangan tenis tersebut.

Setelahnya, kami berjalan sedikit menanjak ke halaman sebuah reruntuhan rumah yang sudah terbengkalai. Giliran Layur dan Gardika Gigih yang urun tampil di sebuah bangku kayu di bawah pohon rindang. Kami duduk menyebar di sekelilingnya. Rute jalan kaki kami jadi lebih menantang ketika Sandi menggiring kami menerobos semak dan melewati dalam lubang sempit di pagar sebuah area. “Ini kita masuk ilegal loh.. semoga nggak digerebek ya,” suara salah satu orang di belakang saya. Kau tahu, sedikit ketegangan dan perbuatan melanggar aturan selalu terasa lebih seru dan menantang.

Dan kejutan! Di depan kami ada sebuah kolam renang kosong –di dalamnya hanya ada air hujan dan keluarga kodok yang asik berenang— dengan warna biru yang kontras dengan pepohonan dan rumput hijau disekelilingnya. Kompak kami langsung duduk menyebar di pinggir kolam. Di venue ini, Banda Neira menyanyikan beberapa lagu dan kolaborasi dalam “Suara Awan”. Berpindahnya kami dari kolam itu adalah efek dari munculnya seorang petugas yang ketahuan melongok kami dari jauh. Berjalan santai melewati beberapa vila kosong dan deretan pohon, suara riuh obrolan ringan seperti mengambang di atas gerombolan kami. Menyenangkan.

Venue ketiga adalah favorit saya: sebuah halaman rumah seorang tukang foto keliling. Sungguh halaman impian ketika punya rumah nanti. Pelataran hijau dengan rumput halus, rimbun pohon yang teduh dan kicau burung yang riuh. Tanpa dikomando lagi, piknik yang sebenarnya pun dimulai. Suplai makanan dari divisi logistik diputar menggiliri kami yang duduk-duduk, tiduran atau yang termenung syahdu. Duo tetua Folk Afternoon, Prihatmoko “Moki” dan Sandi Kalifadani, mengambil gitar dan menyuarakan dua lagu dengan melodi post-rock. Membawa kesyahduan siang itu ke level yang lebih tinggi.

Rumah titik kumpul pertama kami menjadi venue pamungkas setelahnya. Setelah dari tadi menjadi penonton, Leilani ‘Frau’ ditemani Nadya Hatta memainkan piano yang berada di ruang tengah. Setelah itu, piano dimainkan oleh geng “Suara Awan”. Garasi yang sudah disulap jadi venue sederhana dengan kasur sebagai pengganti tribun penonton kemudian digunakan. Banda Neira kembali memainkan beberapa lagu mereka sebagai penutup acara siang itu.

Bagi saya, adanya tuntutan untuk melakukan kontribusi nyata bagi Walk The Folk #1 memberikan pengalaman yang membuat saya merasa menjadi bagian utuh dari acara tersebut. Sedangkan jumlah peserta yang hanya berkisar 20-an, membuatnya terasa seperti piknik akhir pekan dengan sahabat tercinta alih-alih terasa seperti acara musik atau gig biasa. Sungguh sebuah hari dengan keintiman yang luar biasa.

Perjalanan ilegal dan perilaku mengambil alih (occupy) ruang publik yang dilakukan memberikan banyak kesadaran bagi saya. Ada masa ketika tempat-tempat yang sekarang terbengkalai itu pernah memiliki sebuah cerita yang hidup. Bahwa pada sudut-sudut yang terpecil yang tidak biasa juga ada keindahan, dan bahkan pada potret ruang yang sudah terlalu biasa kita lihat sehari-hari, ada hal-hal istimewa jika kita menikmatinya dengan sudut pandang baru.

Setelah Walk The Folk #1 resmi ditutup, keintiman yang lain dimulai dalam bentuk obrolan santai, ice cream, dan celetukan-celetukan usil yang sahut-menyahut. Kami baru mulai meninggalkan Kaliurang yang sejuk sekitar pukul 5 untuk kembali ke kota Jogja dengan energi dan memori yang terisi penuh. Beberapa momen tersebut diabadikan dalam foto-foto di instagram dan twitter dengan tagar #WalktheFolk. Rencananya, Walk the Folk berikutnya akan dijalankan berdasarkan tema, baik dari pemilihan partisipan sampai rute yang ditentukan. Namun jangan khawatir, selain Walk the Folk yang sifatnya diam-diam, acara Folk Afternoon tetap akan diadakan seperti biasa dengan publikasi melalui sosial media.

*****

rumah-runtuh-2in
garasi-1in
kolam-renang-3in
kolam-renang-1in
lapangan-tenis-3-in
lapangan-tenis-1in
hong-2in



Folk Afternoon