Thursday, June 11, 2015

Walk The Folk #2: Perayaan Ajaib tentang Hari yang Biasa

lir_1
(dimuat dalam Majalah Cobra) | Teks oleh Titah Asmaning | Foto oleh Cosmas Dipta dan Anom Sugiswoto

*****


Enam bulan lalu, tepatnya November 2014, sebuah proyek bernama Walk The Folk pertama kali diadakan. Proyek ini adalah turunan acara Folk Afternoon yang digagas oleh Sandi Kalifadani dan LIR. Bukan, yang kami lakukan bukan membuat acara musik. Tidak ada musisi, penonton, apalagi panggung. Konsepnya tidak muluk, hanya mengumpulkan 20 orang peserta, jalan kaki di sekitar rumah, saling membagikan sesuatu dan menikmati waktu. A participatory secret gig, istilahnya. Dan hari membahagiakan itu kami ulang Selasa (28/04) lalu di Kaliurang, saat Walk The Folk #2 diadakan.

“We stop whenever we spot magic”, sebuah kalimat yang ditulis Elda Suryani (Stars and Rabbit) sebagai caption di salah satu foto instagram-nya mendeskripsikan dengan baik apa yang kami lakukan. Mengambil tema ‘Halaman Rumah’, rute yang kami tempuh hari itu mengharuskan kami menerobos tanpa ijin alias trespassing ke beberapa halaman bangunan, mulai penginapan tua, rumah yang sudah ditinggalkan, hingga halaman belakang peristirahatan pribadi. Berbagai kejutan kecil berupa bentuk kontribusi maupun kelakuan tidak tertebak para peserta masih menjadi bumbu sedap kesyahduan acara ini.

Tempat pertama yang kami singgahi adalah halaman sebuah penginapan tua. Di bawah sejuknya kanopi sebuah pohon besar, kami duduk menyebar menyaksikan penampilan Sandi memainkan sebuah melodi instrumental sebagai ice breaker. Di pohon itu pula Elda mengejutkan kami dengan tiba-tiba memanjat pohon dan melakukan aksinya sebagai ‘The Tree Hugger’. Aksi peluk pohon ini berakhir dengan duetnya bersama Sandi menyanyikan “Bizzare Love Triangle” milik Frente di atas pohon. What a show!

Aksi memukau lain juga dihadirkan duo Agan Harahap –‘sosialita’ Hollywood asal Indonesia yang ternyata tidak hanya ahli mengedit foto— dan Itta S. Mulia (ex vokalis Cuts). Dengan senjata lagu-lagu klasik manis yang sing-along-able dan aksi duet intim menggoda, mereka mengubah tempat-tempat biasa menjadi panggung milik berdua. Seperti misalnya saat mereka menyanyikan “We’ll Meet Again” milik Vera Lynn di tengah hamparan ilalang. Padang ilalang mini ini kami temukan setelah nekat masuk pintu halaman belakang villa pribadi milik orang. Itta dengan asiknya menari diiringi melodi harmonika dan gitar dari Agan, tenggelam diantara pucuk-pucuk ilalang yang menggelombang tertiup angin sejuk Kaliurang. Sebelumnya, mereka juga tampil di bekas air mancur yang sudah mengering dan berlumut.

Kolam air mancur ini berada di halaman sebuah rumah mewah yang terbengkalai. Sulur-sulur tumbuhan dan lumut, bahkan berbagai tumbuhan kaktus tumbuh liar di seluruh bagian rumah itu. Di rumah ini kami juga menemukan kolam renang yang kemudian jadi tempat tampil selanjutnya untuk Elda. Bersama Vicky, Elda menyanyikan “The Lion’s Roar” dari First Aid Kid; lagu yang sepanjang perjalanan sudah sayup-sayup kami dengar. Sesi di kolam renang kosong sepertinya menjadi ‘menu wajib’ yang juga bisa ditemukan di Walk The Folk #1 lalu.

lir_2
Selain penampilan musik, Walk The Folk #2 untuk saya jadi semakin asik karena kontribusi yang diberikan peserta semakin beragam. Di kolam air mancur tadi, kami sempat duduk penuh perhatian di lantai berlumut mengikuti lokakarya dari PADEkor. Kelompok crafty ini mengajari kami membuat hiasan dari ranting pohon dan buah pinus yang ternyata mereka kumpulkan selama perjalanan. Ada juga We Need More Stage yang tidak hanya datang untuk mendokumentasikan acara ini, tapi juga membawa setandan buah pisang segar yang jadi bekal piknik kami.

Saya sendiri akhirnya memutuskan mencoba menampilkan sesuatu selain mendokumentasikan project ini lewat tulisan. Bersama seorang teman kerja, saya membentuk Gadisubi –single perfomed band khusus untuk Walk The Folk. Bermodal ukulele dan gitar, Gadisubi memainkan “Anyone Else But You”-nya Moldy Peaches, yang akhirnya lebih mirip musik noise-folk karena genjrengan senar kami yang seadanya.
Walk The Folk #2 akhirnya diakhiri dengan duet Itta, Elda, Sandi dan Vicky di rumah yang menjadi titik kumpul. Dan seperti sebelumnya, jika saat berangkat kami belum saling kenal, saat sudah di ujung acara, mulai muncul obrolan-obrolan akrab antara rombongan Walk The Folk.

Apa yang dilakukan Walk The Folk sebenarnya adalah usaha menghadirkan pemaknaan lain dari sebuah acara musik. Walk The Folk mengganti ritual datang-menonton-pulang, atau datang-tampil-pulang dengan meniadakan batas antara penonton dan penampil. Ia meleburkan batas itu sehingga acara musik tidak hanya menjadi kegiatan konsumsi transaksional yang banal, tapi menghadirkan interaksi dan pengalaman utuh yang secara sederhana bisa diumpamakan sebagai ritual ‘kado silang’. Masing-masing memberi dan mendapat sesuatu.

Sebelumnya, Folk Afternoon juga ada dengan semangat yang sama, acara santai yang tidak muluk. Ruang bebas dimana semua yang hadir hanya menjadi ‘sekumpulan orang biasa yang sedang berbagai cerita dan kebahagiaan’. Semangat yang sayangnya semakin memudar seiring dengan bertambah besarnya nama Folk Afternoon sebagai salah satu (so-called) gig-hipster di Yogyakarta. Walk The Folk kemudian merespon itu dengan hanya melibatkan 20 orang dengan bentuk kontribusi yang pasti dan waktu yang dirahasiakan. Karena sebenarnya bukan seberapa besar sebuah acara berlangsung atau seberapa banyak penonton yang datang, tapi tentang bagaimana sebuah acara memberikan pengalaman timbal-balik yang utuh.

wtf-2_6

Folk Afternoon



wtf-2_5
wtf-2_4
wtf-2_3
lir_3
wtf-2_2
lir_4
wtf-2_1