*****
Sepeda Merah #1: Yahwari – Kim Dong Hwa
PT Gramedia Pustaka Utama, 2012
“Yang baru untuk si sulung, dan
yang paling bagus dikhususkan untuk si bungsu. Pada akhirnya, selalu Sang Ayah
yang memakai kaus kaki yang berlubang.”
(Halaman 57, Kisah 11: Kaus Kaki)
Kalimat di atas adalah sepenggal dari beberapa kalimat dalam buku ini
yang masih saya ingat sampai sekarang. Sampul yang manis dengan jumlah halaman
yang tipis cukup menarik saya -- yang
waktu itu sedang terburu-buru -- untuk tetap membacanya Namun, meskipun tipis,
suasana puitis, romantis, dan juga melankolis, tetap berhasil disampaikan oleh
Kim Dong Hwa.
Bagi saya. kebiasaan -- atau keterbiasaan-- membentuk ingatan, ingatan
membentuk pandangan, dan pandangan membentuk perbuatan. Hal barusan terlihat jelas sebagai kisah yang
ingin disampaikan dalam novel grafis ini: mengenai kehidupan dari kacamata
seorang tukang pos yang menggunakan sepeda merahnya untuk mengantarkan surat di
Desa Yahwari.
Setiap hari, tukang pos ini melewati jalan yang sama hingga ia hapal
dengan rumah dan detilnya, penghuninya, bahkan kebiasaan penghuninya, meski ia
tidak tau nama-nama mereka (dan sejujurnya saya juga tidak tau nama tukang pos
itu). Keterbiasaan ini juga menjadikan ia memiliki pandangan yang sangat
terbuka terhadap penduduk desa itu. Ia tidak segan untuk berbuat baik dan
memberikan bantuan, mulai dari mengantarkan orang asing hingga mendengarkan
cerita seorang kakek yang sudah tinggal sendirian, meskipun ia sedang bekerja.
Kisah dalam buku ini dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu Kisah para
Ibu, Kisah Para Ayah, dan Kisah Penduduk Desa Lain, yang semuanya digrafiskan
oleh Kim Dong Hwa sendiri dengan keindahan yang bersahaja.
Pada akhirnya, membaca buku ini juga mengingatkan saya pada perasaan
zaman kecil dulu -- saya adalah angkatan muda generasi 90an sehingga masih
sempat merasakan komunikasi lewat surat meski bukan sebagai komunikasi primer –
yang kerapkali deg-deg-an saat menunggu surat dari tukang pos, tapi kali ini saya
mengalami perasaan dari kacamata tukang pos itu sendiri. Lucu juga, ya, jadi
tukang pos?
Salam,
yuralasari
No comments:
Post a Comment