Friday, November 13, 2015

Walk The Folk #3: Menyusuri Tempat Cerita Kaliurang

wtf3-7_in
(dimuat di Majalah Cobra) | Text: Titah Asmaning | Foto: Kurniadi Widodo

*****

Ada banyak cara untuk membaca dan menikmati sebuah situasi. Selasa, 3 November lalu, kami membaca ulang Kaliurang dalam Walk the Folk #3. Sebuah acara sederhana berbasis prinsip kado silang untuk memberikan makna baru pada hal atau ruang yang sudah terlalu biasa dan mudah begitu saja berlalu. Kaliurang tetap menjadi lokasi Walk the Folk seperti edisi sebelumnya, tapi tentu ada yang berbeda dari setiap edisi participatory secret gig ini.

Walk the Folk #1 yang diadakan tahun lalu melakukan okupasi pada ruang-ruang publik yang ditinggalkan. Walk the Folk #2 baru-baru ini mencoba lebih seru dengan mengokupasi ruang privat yang ditinggalkan. Kali ini, demi kembali ke cikal bakal ide Folk Afternoon yang semangatnya seperti ‘gitaran santai di cangkruk’; Walk the Folk #3 memiliki misi untuk menyambangi ruang-ruang berkumpul warga lokal di Kaliurang. Cangkrukan, begitu dalam bahasa jawa disebut, sebenarnya adalah proses dimana komunikasi yang sesungguhnya berlangsung. Ruang informal ini tidak seperti kelas, ruang diskusi atau rapat DPRD yang membahas hal-hal tertentu saja. Sambil ngopi dan santai di cangkruk, cerita remeh temeh tentang anak pak RT yang cantik, maling ayam di desa sebelah, naiknya harga beras sampai isu politik negara biasa dibicarakan dalam perspektif paling jujur dan lugas.

Total ada enam spot yang disinggahi siang itu. Kami memulai jarak tempuh yang panjang itu dari sebuahrooftop sebuah hotel di Kaliurang. Sandi Kalifadani yang menggagas acara ini membuka Walk The Folk #3 dengan saling berkenalan dan berbagi lagu pembuka. Perjalanan berkeliling Kaliurang pun dipimpin oleh Sandi didampingi oleh Anitha Silvia dari Manic Street Walkers.

wtf3-3_in
wtf3-8_in


Turun dari rooftop, kami menyurusi gang-gang kecil dan berhenti di sebuah tikungan dengan cangkrukyang diteduhi kanopi pohon talok yang berbuah lebat. Tempat ini biasa digunakan nongkrong warga lokal di sore hari. Sambil menyeruput kopi single-origin dalam termos pink sederhana yang merupakan kontribusi personal salah satu barista Lir, kami menikmati “Balada Harian” dan “Puan Kelana” dari Silampukau. Beruntung bahwa mereka kebetulan sedang mengadakan tur Jawa Tengah dan bisa ikut dalam Walk The Folk edisi ini. Di sini saya juga sempat membacakan sebuah puisi yang saya temukan di pojok halaman sebuah surat kabar, tulisan anak kelas 4 SD, berjudul “Langit Biru”, seperti langit Kaliurang hari itu.

Berjalan lagi, kami berhenti di bawah pohon beringin di tengah pertigaan dekat Taman Bermain Kaliurang. Matty, seniman asal Australia yang sekarang mendapat giliran tampil. Dengan suara sopran, ia menyanyikan “Halleluya” dengan indah. Irfan ‘Jalan Pulang’ juga menyanyikan sebuah lagu yang begitu personal baginya, diikuti oleh sebuah penampilan dengan emosi yang sangat intens ketika Kharis Junandaru mengkover lagu Tom Waits berjudul “Martha”. Suara motor dan jingle es krim yang sesekali lewat justru malah membangun suasana sendu lagu itu.

wtf3-9_in
wtf3-11_in
wtf3-12_in


Dalam setiap Walk The Folk memang selalu terdapat penemuan spontan. Kami sempat heboh ketika Tinta (panggilan akrab Anitha Silvia) yang memimpin jalan di depan menemukan tugu 0 kilometer Kaliurang. “Bukan aku yang nemuin, kita aja yang baru liat. Setiap berjalan kaki meskipun di rute yang sama, kita pasti akan selalu menemukan hal yang baru,” ujar Tinta sambil tertawa. Tingginya tidak lebih dari 50cm, tidak mencolok, di pinggir jalan yang cukup sepi, berdiri begitu saja. Dari penemuan tugu itu mengalir cerita tentang kota kolonial. Kota-kota yang dibangun Belanda memang selalu punya tugu titik 0 KM. Kaliurang pun begitu, dulu kompleks ini dibangun sebagai tempat peristirahatan para geolog Belanda, sampai sekarangpun arsitektur dan tata ruang di Kaliurang masih sangat dutch-esque. Hari itu saya juga lebih jeli melihat jenis bebungaan yang ditanam warga di depan rumah. Pasalnya, saya baru menonton pameran tunggal Edita Atmadja di LIR Space yang menceritakan tentang bagaimana persebaran jenis bunga di Kaliurang bisa memetakan cara hidup masyarakat yang komunal. Di Walk The Folk #3 Edita Atmadja juga berkolaborasi dengan Yonaz Kristy membuat sablonase kaus dan poster yang dibagikan secara cuma-cuma.

Venue selanjutnya adalah sebuah lapangan voli yang dipojokannya terdapat kepala kereta wisata yang teronggok tertumpuk debu dan daun kering. Namun hal itu justru menambah sisi artistik lokasi tersebut sebagai sebuah ‘panggung’. Sandi, Matty dan Silampukau bergiliran mengokupasi ‘panggung’ itu. Sementara itu, termos kopi terus digilir dan Lala Bohang mulai sibuk melayani permintaan tato temporer yang menjadi bentuk kontribusinya di Walk The Folk #3 kali ini.

wtf3-20_in
wtf3-19_in
wtf3-17_in


Hari makin panas dan kami melanjutkan perjalanan ke sebuah jembatan. Sayup-sayup gemericik air bersaing dengan suara gesekan daun bambu yang ditiup angin. Merespon potensi kesyahduan itu, Irfan menyanyikan “Di Kota Ini Tak Ada Kamu Lagi” dengan gitar dan harmonikanya. Adem. Berikutnya, tampil Bencik Kelincik, duo monolog-instrumentalis bentukan Dito Yuwono dan Anggun Priambodo. Berdua mereka menampilkan suguhan yang mendekati performing art ketimbang pertunjukan musik, dengan salah satu lagu andalan berjudul “Pak Dasri dan Goa Jepang”. Penampilan yang terlalu imut untuk duo yang mengaku punya misi menyebarkan kejahatan di dunia.

Venue pamungkas Walk The Folk #3 adalah sebuah rumah tua berhalaman luas. Jika diperhatikan lebih detil, beberapa kaca jendela rumah itu sudah tidak ada. Pecah, karena memang halaman rumah ini adalah tempat anak-anak biasa bermain bola ketika pulang sekolah. Di sini, Silampukau berduet dengan Irfan menyanyikan “Doa 1”. Senang melihat bahwa dari semua lagu dalam album Dosa, Kota & Kenangan, Silampukau memilih tidak menyanyikan lagu-lagu tentang kota di sini. Curhat eksistensialis a la musisi indie yang dinyanyikan dengan sangat renyah berhasil memanaskan kembali semangat kami untuk menempuh perjalanan lagi kembali ke tempat awal. Walk The Folk kali ini memang menempuh rute yang sangat panjang dan cukup menguras tenaga, apalagi cuaca sedang panas-panasnya.

Beruntung mood kami kembali membaik saat mengetahui ternyata Sandi bersama tim LIR sudah mempersiapkan sebuah pameran artefak Walk The Folk #3. Sebuah jawaban dari Sandi yang menggiliri kami sebuah kamera instan dan kantong plastik selama perjalanan tadi. Dengan display a la Jonathan Safran Foer di Everything is Illuminated, kami melihat gambar-gambar dan benda-benda yang kami pilih sebagai pewujud cerita kami tentang Walk The Folk #3 ini. Dari mulai reruntuhan rumah, buah nangka sampai foto selfie, juga berbagai macam benda-benda kecil dalam plastik.

Tiga perjalanan, tiga tema, 60 partisipan dan entah berapa cerita sudah didapat dari proyek turunan hasil kolaborasi tim Folk Afternoon dan LIR ini. Sandi sendiri sudah merasa cukup, “Belum tahu deh nanti akan ada lagi atau nggak,” jelasnya ketika saya tanyai tentang keberlanjutan acara yang tentu saja cukup potensial untuk dibuat dengan versi lebih besar dan lebih ramai ini. Tapi memang bukan esensi Walk The Folk untuk kemudian dibesarkan lagi, biarkan proyek ini mungkin mengalir sendiri dalam bentuk lain.
Kembali ke kalimat pertama, untuk saya Walk The Folk tidak harus dibaca sebagai sebuah usaha meredefinisi arti sebuah gig, acara musik atau apapun itu. Walk The Folk bisa saja dibaca hanya sebagai acara jalan-jalan biasa, yang karena kontribusi peserta dan segala penemuannya menjadi pengalaman dengan banyak cerita. Tentang bagaimana kemudian cerita itu dimaknai, sudah jadi urusan masing-masing peserta.

wtf3-22_in
wtf3-25_in
wtf3-28_in
wtf3-31_in
wtf3-32_in
wtf3-all-team_in
—–




Folk Afternoon

Thursday, June 11, 2015

Walk The Folk #2: Perayaan Ajaib tentang Hari yang Biasa

lir_1
(dimuat dalam Majalah Cobra) | Teks oleh Titah Asmaning | Foto oleh Cosmas Dipta dan Anom Sugiswoto

*****


Enam bulan lalu, tepatnya November 2014, sebuah proyek bernama Walk The Folk pertama kali diadakan. Proyek ini adalah turunan acara Folk Afternoon yang digagas oleh Sandi Kalifadani dan LIR. Bukan, yang kami lakukan bukan membuat acara musik. Tidak ada musisi, penonton, apalagi panggung. Konsepnya tidak muluk, hanya mengumpulkan 20 orang peserta, jalan kaki di sekitar rumah, saling membagikan sesuatu dan menikmati waktu. A participatory secret gig, istilahnya. Dan hari membahagiakan itu kami ulang Selasa (28/04) lalu di Kaliurang, saat Walk The Folk #2 diadakan.

“We stop whenever we spot magic”, sebuah kalimat yang ditulis Elda Suryani (Stars and Rabbit) sebagai caption di salah satu foto instagram-nya mendeskripsikan dengan baik apa yang kami lakukan. Mengambil tema ‘Halaman Rumah’, rute yang kami tempuh hari itu mengharuskan kami menerobos tanpa ijin alias trespassing ke beberapa halaman bangunan, mulai penginapan tua, rumah yang sudah ditinggalkan, hingga halaman belakang peristirahatan pribadi. Berbagai kejutan kecil berupa bentuk kontribusi maupun kelakuan tidak tertebak para peserta masih menjadi bumbu sedap kesyahduan acara ini.

Tempat pertama yang kami singgahi adalah halaman sebuah penginapan tua. Di bawah sejuknya kanopi sebuah pohon besar, kami duduk menyebar menyaksikan penampilan Sandi memainkan sebuah melodi instrumental sebagai ice breaker. Di pohon itu pula Elda mengejutkan kami dengan tiba-tiba memanjat pohon dan melakukan aksinya sebagai ‘The Tree Hugger’. Aksi peluk pohon ini berakhir dengan duetnya bersama Sandi menyanyikan “Bizzare Love Triangle” milik Frente di atas pohon. What a show!

Aksi memukau lain juga dihadirkan duo Agan Harahap –‘sosialita’ Hollywood asal Indonesia yang ternyata tidak hanya ahli mengedit foto— dan Itta S. Mulia (ex vokalis Cuts). Dengan senjata lagu-lagu klasik manis yang sing-along-able dan aksi duet intim menggoda, mereka mengubah tempat-tempat biasa menjadi panggung milik berdua. Seperti misalnya saat mereka menyanyikan “We’ll Meet Again” milik Vera Lynn di tengah hamparan ilalang. Padang ilalang mini ini kami temukan setelah nekat masuk pintu halaman belakang villa pribadi milik orang. Itta dengan asiknya menari diiringi melodi harmonika dan gitar dari Agan, tenggelam diantara pucuk-pucuk ilalang yang menggelombang tertiup angin sejuk Kaliurang. Sebelumnya, mereka juga tampil di bekas air mancur yang sudah mengering dan berlumut.

Kolam air mancur ini berada di halaman sebuah rumah mewah yang terbengkalai. Sulur-sulur tumbuhan dan lumut, bahkan berbagai tumbuhan kaktus tumbuh liar di seluruh bagian rumah itu. Di rumah ini kami juga menemukan kolam renang yang kemudian jadi tempat tampil selanjutnya untuk Elda. Bersama Vicky, Elda menyanyikan “The Lion’s Roar” dari First Aid Kid; lagu yang sepanjang perjalanan sudah sayup-sayup kami dengar. Sesi di kolam renang kosong sepertinya menjadi ‘menu wajib’ yang juga bisa ditemukan di Walk The Folk #1 lalu.

lir_2
Selain penampilan musik, Walk The Folk #2 untuk saya jadi semakin asik karena kontribusi yang diberikan peserta semakin beragam. Di kolam air mancur tadi, kami sempat duduk penuh perhatian di lantai berlumut mengikuti lokakarya dari PADEkor. Kelompok crafty ini mengajari kami membuat hiasan dari ranting pohon dan buah pinus yang ternyata mereka kumpulkan selama perjalanan. Ada juga We Need More Stage yang tidak hanya datang untuk mendokumentasikan acara ini, tapi juga membawa setandan buah pisang segar yang jadi bekal piknik kami.

Saya sendiri akhirnya memutuskan mencoba menampilkan sesuatu selain mendokumentasikan project ini lewat tulisan. Bersama seorang teman kerja, saya membentuk Gadisubi –single perfomed band khusus untuk Walk The Folk. Bermodal ukulele dan gitar, Gadisubi memainkan “Anyone Else But You”-nya Moldy Peaches, yang akhirnya lebih mirip musik noise-folk karena genjrengan senar kami yang seadanya.
Walk The Folk #2 akhirnya diakhiri dengan duet Itta, Elda, Sandi dan Vicky di rumah yang menjadi titik kumpul. Dan seperti sebelumnya, jika saat berangkat kami belum saling kenal, saat sudah di ujung acara, mulai muncul obrolan-obrolan akrab antara rombongan Walk The Folk.

Apa yang dilakukan Walk The Folk sebenarnya adalah usaha menghadirkan pemaknaan lain dari sebuah acara musik. Walk The Folk mengganti ritual datang-menonton-pulang, atau datang-tampil-pulang dengan meniadakan batas antara penonton dan penampil. Ia meleburkan batas itu sehingga acara musik tidak hanya menjadi kegiatan konsumsi transaksional yang banal, tapi menghadirkan interaksi dan pengalaman utuh yang secara sederhana bisa diumpamakan sebagai ritual ‘kado silang’. Masing-masing memberi dan mendapat sesuatu.

Sebelumnya, Folk Afternoon juga ada dengan semangat yang sama, acara santai yang tidak muluk. Ruang bebas dimana semua yang hadir hanya menjadi ‘sekumpulan orang biasa yang sedang berbagai cerita dan kebahagiaan’. Semangat yang sayangnya semakin memudar seiring dengan bertambah besarnya nama Folk Afternoon sebagai salah satu (so-called) gig-hipster di Yogyakarta. Walk The Folk kemudian merespon itu dengan hanya melibatkan 20 orang dengan bentuk kontribusi yang pasti dan waktu yang dirahasiakan. Karena sebenarnya bukan seberapa besar sebuah acara berlangsung atau seberapa banyak penonton yang datang, tapi tentang bagaimana sebuah acara memberikan pengalaman timbal-balik yang utuh.

wtf-2_6

Folk Afternoon



wtf-2_5
wtf-2_4
wtf-2_3
lir_3
wtf-2_2
lir_4
wtf-2_1