*****
Dalam
Rahim Ibuku Tak Ada Anjing – Afrizal Malna
Bentang
Budaya / 2002
"Aku
seorang perempuan yang sedang sibuk membongkar tembok-tembok. Yang akar-akar
dari tembok itu melilit sepatuku. Aku percaya, dalam rahim ibuku tidak ada
sampah." - Afrizal Malna, hlm 59 (Kelahiran Seekor Anjing)
Anti-puitik, entah apa istilah linguistiknya,
Tapi yang jelas, kumpulan puisi Afrizal Malna yang ini bukan seperti puisi
kebanyakan. Puisinya ditulis seperti sebuah deret gerak cepat bakal animasi
yang tak saling sambung, saling tubruk, berkelindan, chaos. Tapi dalam kelebatan-kelebatan kalimatnya, satu per satu isu
mencuat. Penuh metafor, tapi kata-kata indah bukan amunisinya. Afrizal Malna
justru mengajak kita berlompatan di pemandangan kelas menengah ke bawah,
adegan-adegan profesi yang tak pernah tertulis di kolom cita-cita, kumuh. Dalam
sudut pandang yang jungkir-balik tapi segar, ia mengutuki bangsatnya rezim yang
32 tahun berkuasa, sampai bujuk rayu pemanas adegan ranjang. Juga sosok ibu,
tempat kita selalu ingin pulang, tempat segala lahir, sosok yang menjadi
‘rumah’ dalam rumah itu sendiri.
Ditulis di circa 1998, tidak bisa tidak,
banyak sarkasme politis yang terbaca dari buku ini. Melalui kolase-kolase
katanya, secara implisit Afrizal Malna meleburkan dirinya dalam masyarakat
kelas bawah, dan meminjam perspektif mereka untuk mengomentari situasi politik
pada jaman itu. Ia seperti melawan stereotype akan apa yang bisa dideskripsikan
dengan kata ‘indah’. Pilihan jitu jika kalian sedang bosan atau sudah kenyang
dengan puisi yang hanya mengurusi indahnya siluet senja atau daun-daun
berguguran. Dan karena topik tentang reformasi belum akan habis dibahas sampai
entah mungkin berapa belas atau puluh tahun lagi, buku ini akan tetap
konstektual untuk dibaca.
Dalam permainan bahasanya, Afrizal Malna
kemudian mengumpamakan kata sebagai sebuah ruang. Maka jangan heran membaca
adegan-adegan absurd yang aneh jika dibaca secara literal, ia lebih seperti
ingin membanjiri kita dengan impresi. Yang dari situ kita bisa menilai sendiri,
apakah kita sudah sampai di teras, ruang tamu atau bahkan sudah sampai dapur
dan halaman belakang semesta kata milik Afrizal Malna. Suka sekali dengan
kolase adegan macam kota-kota yang terjebak dalam koper yang diletakkan di rak
barang kereta api jurusan Jogjakarta, secangkir kopi yang menelan malam dalam
setiap tegukannya, mayat gubernur yang disimpan di kolong tempat tidur, kepalan
tangan yang jadi bara pemasak politik negara. Ngomong-ngomong, saya suka sekali
dengan ilustrasi Ugo Untoro di sampulnya.
Tabik,
(Titah AW – menulis di WARN!NGMAGZ, memasak di
LIR.)
*****
Note:
#LirBookClub mengundang para penikmat buku untuk datang membaca di Lir dan menuliskan pendapatnya atas buku tersebut. Siapa saja bisa terlibat dalam kegiatan ini. Cukup datang di waktu operasional Lir., membaca buku, dan mengirimkan tulisan kepada kami. Untuk tulisan yang dimuat akan mendapatkan kopi gratis di kunjungan berikutnya!
No comments:
Post a Comment